

Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta
Presiden Soekarno (Bung Karno) saat deklarasi kemerdekaan tahun 1945 memiliki keinginan menyatukan semua bekas koloni jajahan Belanda ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tekad untuk menggabungkan Papua ke dalam NKRI tersebut dikuatkan atas dasar hasil kesepakatan rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di agenda tersebut telah disepakati semua wilayah bekas jajahan Belanda masuk dalam kedaulatan NKRI.
Sekalipun sudah sejak awal-awal kemerdekaan, namun hingga hampir 20 tahun kemerdekaan Indonesia, keinginan tersebut belum terwujud. Barulah pada tanggal 1 Mei 1963, PBB menyerahkan Papua (kala itu dinamai Irian Barat oleh Bung Karno) untuk diadministrasi oleh pemerintah Indonesia. Meskipun telah diadministrasi oleh pemerintah Indonesia, Irian Barat masih belum menjadi wilayah NKRI. Baru pada tahun 1969, pasca Pepera, Irian Barat secara resmi menjadi wilayah NKRI. PBB pun memberikan legitimasinya melalui Resolusi Nomor 2504.
Rasa Ke-Indonesiaan
Bung Karno dikenal sebagai pribadi yang berkharisma besar sehingga mampu mempengaruhi lawan bicaranya. Dalam mengambil hati masyarakat Papua, ia menerapkan rasa ke-Indonesiaan kepada mereka, seperti halnya yang ia lakukan terhadap masyarakat wilayah lainnya di Indonesia, khususnya di awal-awal revolusi.
Pasca PBB memberikan pengelolaan administrasi Papua kepada Jakarta, pada awal Mei 1963, Sukarno sempat melakukan kunjungan ke Papua. Tidak sendiri, Bung Karno membawa serta pihak lainnya, termasuk Gubernur Aceh. Bung Karno kemudian memperkenalkannya kepada Gubernur Irian Barat saat itu, Elias Jan Bonay, di hadapan masyarakat Papua. Selain itu, presiden pertama Indonesia itu pun mengusulkan ada pertukaran pelajar dari Papua ke Aceh, dan sebaliknya.
Upaya ini bagian dari cara Bung Karno dalam menanamkan rasa Ke-Indonesiaan. Ia ingin menciptakan rasa nasionalisme di seluruh wilayah NKRI, dari ujung Barat hingga ujung Timur. Ia ingin setiap rakyat Indonesia, tidak peduli suku, agama, golongan, dll, menjadi satu manusia Indonesia.
Dekat dengan Papua
Hubungan Indonesia dengan Papua di era revolusi kemerdekaan pun belum banyak yang tahu, misalnya cerita Manokwari dan Boven Digul di Papua. Dua daerah di Papua tersebut terkenal sebagai tempat para nasionalis yang pro kemerdekaan di era Belanda dibuang atau diasingkan. Padahal, mereka adalah pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia juga.
Bung Karno sendiri pernah diasingkan di Boven Diguel, sebuah penjara alam yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Lokasinya yang terpencil, serta ancaman penyakit Malaria, membuat siapa pun sulit untuk melarikan diri dari sana. Selain Bung Karno, Hatta dan Sutan Syahrir juga pernah diasingkan di sini. Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional asal Papua pun memiliki mentor dan guru politik seorang “alumni” Boven Digul. Ini menunjukkan betapa dekatnya ideologi Papua dengan Indonesia.
Kemudian, Bung Karno juga sebenarnya sudah mengetahui kekayaan alam di Papua. Namun, menariknya ia justru lebih menitikberatkan pada pembangunan manusia di Papua terlebih dahulu. Bukan pada eksploitasi sumber daya alamnya. Kebijakan ini terlihat ketika Bung Karno memberikan instruksi untuk membentuk sarana pendidikan tinggi, yaitu Universitas Cendrawasih (Uncen) pada tanggal 10 November 1962. Itu artinya, instruksi tersebut terjadi sebelum Irian Barat masuk secara de facto ke dalam NKRI pada 1 Mei 1963.
Kedekatan Bung Karno dengan Papua juga terlihat dari tanggal-tanggal yang penuh simbol historis, seperti tanggal 10 November 1962, yaitu Hari Pahlawan, dan tanggal 1 Mei 1963, yaitu Hari Kemenangan Buruh Sedunia. Bung Karno mengabadikan momen-momen historis Irian Barat pada peringatan-peringatan hari bersejarah tersebut.
Jangan lupakan juga Tri Komando Rakyat (Trikora) tanggal 19 Desember 1961. Bung Karno mengeluarkan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta, yang isinya: Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial; Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, Bung Karno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Dekatnya Bung Karno dengan Papua tidak perlu diragukan lagi. Secara historis, Papua memang sudah memiliki DNA Merah Putih. Terlebih, Proklamator Kemerdekaan RI pun menyebut Papua sebagai saudara. Bahkan, menurut Arkeolog Harry Widianto, Papua adalah anak sulung Indonesia.