

Alumni Magister Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN)
Implementasi Otsus Papua belum mati: Tanggapan terhadap Pdt. Socrates Yoman
Hadirnya UU Otonomi Khusus disebabkan oleh permasalahan di tanah papua yang sangat menantang. Selama lebih dari lima dekade terakhir. Pemerintah melakukan berbagi cara salah satunya membuka pendekatan otonomi dengan kesepakatan yang telah dijanjikan salah satunya aturan daerah yaitu UU Otonnomi Khusus. Pembicaraan mengenai otsus baru dibahas ketika J.P Solosa diangkat menjadi Gubernur papua di tahun 2000, yang dimana terciptalah ide otonomi khusus yang terus didiskusikan hingga diresmikannya UU ini oleh pemerintah pada tahun 2001.
Kebijakan dan peraturan UU Otonomi Khusus ini pun menjadi cahaya cerah bagi masa depan Papua dan dirasakan manfaatnya hingga kini. Terbukti dengan beberapa upaya pemerintah, salah satunya adalah aliran dana.Bedasarkan data dari buku Analisis Pengeluaran Publik Papua menyatakan bahwa sebanyak 50% alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan ke Papua. Tujuan anggaran dana ini digunakan untuk menangani beberapa permasalahan yang terjadi di Papua, seperti masalah kesehatan, pendidikan, dan juga untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Papua sendiri. Selain itu dana ini juga digunakan untuk mendukung program-program sesuai dengan kebutuhan masyarakat papua untuk dalam menunjang kesejahteraan yang tercipta di tengah-tengah masyarakat.
Namun di tengah keberhasilan otsus, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua dan pendiri serta anggota Dewan Gereja Papua, Pdt Dr Socrates S Yoman menyatakan implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah mati. Hal itu terlihat dari kegagalan undang-undang itu mencegah kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua.
Kami sebagai orang asli Papua bilang, Otsus Papua sudah gagal. Kami sebagai gereja, sebagai pemegang suara mandat umat Tuhan, mereka berikan kepercayaan kepada kami untuk menyampaikan bahwa Otsus sudah gagal. Kami dari Dewan Gereja berkesimpulan bahwa Otsus itu mati. Yoman menilai selama Otsus Papua dikerdilkan hanya sebagai pembangunan infrastruktur berupa jalan atau gedung. Padahal semua pihak harus memahami bahwa Otsus Papua lahir sebagai hasil negosiasi politik antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua yang menuntut hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, berbagai kekhususan yang diatur UU Otsus Papua tidak berjalan. UU Otsus Papua bahkan gagal menghentikan siklus kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua. Yoman menegaskan perlindungan terhadap orang asli Papua adalah ukuran utama keberhasilan Otsus Papua, namun para pelaku dalam berbagai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa Otsus tetap kebal hukum.
Pernyataan Pendeta Yoman memang patut disayangkan. Seharusnya seorang hamba Tuhan tidak berpolitik, apalagi menyerang sebuah kebijakan yang dibuat oleh sebuah negara resmi dan berdaulat, yaitu Indonesia. Faktanya, implementasi Otsus belum mati. Pemerintah dan lembaga legislatif sepakat untuk melanjutkan Otsus Jilid II dengan hanya melakukan revisi pada pendanaan dan rencana pemekaran wilayah di Papua. Khusus pendanaan, saya sangat sepakat bahwa pendanaan Otsus harus dievaluasi, alasannya karena pendanaan Otsus masih diatur sesuai dengan UU yang dibuat 20 tahun lalu. Tentunya dengan kondisi anggaran yang sudah berubah saat ini, evaluasi terkait pendanaan Otsus tentu perlu dilakukan.
Selain itu, mengutip pendapat mantap Staf Khusus Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, Velix Wanggai, ,elalui dana otonomi khusus, pembangunan di bumi Cendrawasih sudah terasa manfaatnya bagi masyarakat. Tidak hanya ekonomi secara positif terdampak, namun sektor sosial dan budaya juga ikut serta. Velix juga mengungkapkan bahwa pembangunan Infrastruktur dilaksanakan dengan pendekatan kultural. Pasalnya, infrastruktur memiliki peran sosial, ekonomi dan budaya.
Pendekatan kultural ini sebenarnya menjadi bukti bahwa pemerintah tidak melupakan peran dari para pemuka agama di Papua. Tanpa kontribusi mereka, Otsus tidak akan pernah bisa maksimal. Otsus hanya sekedar kebijakan mati, jika segenap elemen di Papua tidak menghidupinya. Untuk itu, patut kita sayangkan pendapat dari Pdt. Socrates jika ia justru mengatakan bahwa Otsus sudah mati. Kita justru berharap tokoh-tokoh agama sepertinya dapat berkontribusi menghidupi Otsus agar bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat di Bumi Cendrawasih.
Selanjutnya, Velix juga menambahkan bahwa infrastruktur memiliki nilai sosial. Ia menyebutkan dengan dibangunnya pasar, kota-kota kecil otomatis berperan sebagai ajang mempertemukan beragam etnik Papua. Kita mempunyai makna lebih dalam tentang infrastruktur. Diantaranya, pembangunan infrastruktur berbasis komunitas seperti pengadaan sanitasi, penyediaan air baku dll. Disini negara hadir memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Untuk pengembangan ekonomi wilayah atau komunitas seperti bandara, pelabuhan, jalan dan lainnya, sangat diperlukan pendekatan kultural dengan mengadopsi pengembangan ekonomi atau komoditas. Infrastruktur mendukung sentra ekonomi yang berdampak pada pengurangan kemahalan (penurunan harga-harga). Diantaranya, kawasan Raja Ampat sebagai pengembang destinasi wisata dengan membangun infrastruktur pendukung seperti perluasan bandara. Berdirinya kawasan khusus dengan mendorong pembangunan pelabuhan, bandara internasional dll. Itulah sebabnya implementasi Otsus sangat terasa hidup, apalagi disertai dengan pendekatan kultural.