Menjelang 1 Desember, yang banyak orang Papua berpikir sebagai hari ulang tahun OPM, ternyata banyak fakta yang tidak menunjukkan demikian. Fakta sejarah dan nalar hukum menunjukan 1 Desember tak tepat disebut sebagai hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa demikian, penulis memiliki beberapa alasan. Pada 18 November 1961, setelah dilaksanakannya rapat luar biasa Dewan Papua atau sebelumnya bernama Nieuw Guinea raad, dalam bahasa Belanda, diputuskan aturan tentang bendera dan lagu kebangsaan Papua. Aturan ini ditetapkan oleh Gubernur Jenderal PJ.Platteel. Terkait perisai lambang, aturannyanya masih ditunda menunggu adanya keputusan Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad van Adel) di Den Haag, Belanda.
Meskipun demikian, pada 1 Desember 1961 dilaksanakan pengibaran bendera di kota Hollandia, saat ini Jayapura, dan ibukota onderafdeling. Dengan demikian, bahwa sesungguhnya hari itu, 1 Desember 1961 belum dapat disebut atau dinyatakan sebagai Hari Kemerdekaan Niew-Guinea, tetapi bahwa sejarah mencatat jika proses ke sana sedang dijalankan dan ketika itu Belanda masih berdaulat di atas Tanah Papua.
Itulah mengapa 1 Desember bukanlah hari ulang tahun OPM, meski selama ini selalu memang sangat terkait erat dengan upaya Papua untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. “1 Desember itu hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda mengumumkan embrio negara. OPM berjuang untuk pengakuan itu.”
Namun tentunya pernyataan juru bicara OPM tersebut tidaklah mewakili pendapat seluruh masyarakat Papua, bahkan provokatif. Justru, seluruh masyarakat Papua sudah memberikan sebuah pernyataan tegas untuk merdeka atau bersama Indonesia. Pernyataan itu diformalkan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Mereka yang mengatakan bahwa Pepera adalah akal-akalan Indonesia untuk menguasai Papua, sampai mengatur hasilnya agar masyarakat Papua memilih untuk bergabung ke Indonesia, juga tidak benar. Indonesia justru membantu memerdekakan Papua dari Belanda melalui Perjanjian New York tahun 1962. Integrasi Papua ke Indonesia juga disetujui dan disahkan PBB. Bahkan, mereka melakukan supervisi langsung ketika diadakan Pepera tahun 1969. PBB mengutus 50 orang untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten, serta dihadiri 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu.
Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Secara de Facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini. Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada sidang umum 19 November 1969 yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.
Pihak-pihak yang kontra dengan ini memberikan argumen bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 merampas hak-hak sipol dan ekosob rakyat Papua Barat, yang adalah bagian dari suatu bangsa di dunia. Bahkan, mereka mengatakan bahwa resolusi PBB tersebut dapat diistilahkan bola api liar yang sedang dimainkan dalam arena kepentingan geopolitik di West Papua, yaitu kepentingan Imperialis AS tujuan utama ekonomi, dan kepentingan Indonesia tujuannya politik.
Kita tidak bicara politik dalam konteks ini, namun hukum, tepatnya hukum internasional. Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua. Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku. Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional.
Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, bahkan ingin sampai Papua merdeka, artinya pihak-pihak ini tidak belajar sejarah dan hukum. Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.
PBB telah memperhitungkan konsekuensi dalam berdemokrasi wajar akan adanya pro dan kontra akan hasil Pepera ini. Silang pendapat terhadap yang menerima keputusan juga yang menentang keputusan. Gugatan mengenai keabsahan Pepera oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dinilai hanyalah upaya mencari kambinghitam dengan memanfaatkan celah sejarah yang digunakan untuk kepentingannya.
Pepera tahun 1969 telah dilaksanakan sesuai kondisi wilayah serta perkembangan masyarakat, di mana tidak memungkinkan untuk dilakukan secara “one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kekurangan ataupun kecacatan, nyatanya PBB telah menerima keabsahan Pepera melalui resolusi No 2504. Bahkan, masyarakat Internasional mengakui secara penuh dan tak ada satupun pihak yang menolak. Intinya, tidak ada hari kemerdekaan Papua, apakah itu 1 Desember, 1 Juli, atau hari-hari lainnya. Jika ada, itu hanya provokasi OPM yang kerap menyuarakan Papua merdeka.