

Manager Program Center for Peace and Education (CPE)
Memahami Papua dan Mencari Solusi dari Permasalahannya
Sedari awal, para founding fathers telah tegas menyatakan jika Papua merupakan wilayah yang terintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi mengungkapkan jika Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Drs. Moh. Hatta dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Dikatakan bahwa Moh. Hatta lebih menyetujui Irian Barat (sebelum menjadi Papua) untuk menentukan nasibnya sendiri disebabkan oleh perbedaan etnis. Ia menambahkan bila saat itu negara berupaya keras untuk menegakkan bendera Merah Putih di tanah Papua maka dunia internasional akan melihat bahwa Indonesia ingin berkuasa atas Papua. Walaupun pernyataan-pernyataan yang dikemukakannya tidak tegas seperti Ir. Soekarno, Moh Hatta tetap berupaya mempertahankan Papua melalui meja perundingan dengan upaya penyelesaian konflik secara kompromi.
Di saat yang bersamaan, Belanda mengalami masa sulit karena Belanda telah kehilangan banyak wilayah kekuasaan sedangkan Hindia Belanda merupakan wilayah koloni terbesar. Seperti yang diketahui Ir. Soekarno sebagai founding fathers sangat vokal dalam menanggapi Irian Barat. Tak tanggung, Soekarno menganggap Irian Barat sebagai bagian tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sama halnya dengan Moh. Hatta, Soekarno pun telah mengetahui alasan Belanda mempertahankan Papua Barat. Adapun sebab Belanda tak kunjung adalah potensi sumber daya alam Papua yang melimpah dan ditandai dengan riset-riset geologis yang mendukungnya. Dalam rapat BPUPKI, disepakati bahwa seluruh wilayah bekas pendudukan Belanda merupakan wilayah yang terintegrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berangkat dari hasil kesepakatan rapat BPUPKI tersebut, Soekarno menginstruksikan berdirinya Universitas Cendrawasih, 10 November 1962 sejalan dengan upaya pembangunan sumber daya manusia sebelum mengembangkan potensi sumber daya alam.
Dimulai pada 1999, beberapa perwakilan Orang Asli Papua (OAP) seperti Thaha Alhamid dan kawan-kawan berbekal keyakinan dan orientasi masa depan menemui Presiden B.J Habibie untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelahnya masyarakat Papua berturut-turut menyelenggarakan Kongres Papua I yang dipimpin oleh Thaha Alhamid pada tahun 2000. Selanjutnya, hasil kesepakatan musyawarah disampaikan pada Presiden K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur serta menyampaikan bahwa segera akan diselenggarakan Kongres Papua II. Presiden K.H Abdurrahman Wahid mengalokasikan dana satu miliar rupiah guna membiayai kongres tersebut. Hasil kongres inilah yang kemudian di adopsi sebagai Otonomi Khusus (otsus) Papua sekaligus sebagai win-win solution sebagai upaya resolusi konflik multidimensi Papua sejak 1962. Hal tersebut diperkuat dengan diberlakukannya Otonomi Khusus Papua dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Selanjutnya, pemerintah pusat mengucurkan dana dalam rangka pembangunan Papua melalui dana otsus atau dua persen dari total pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dengan jangka waktu 20 tahun. Dana otsus ini kemudian dimanfaatkan dalam membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan ekonomi serta membiayai penyelenggaraan pendidikan, kebudayaan, emansipasi sosial dan kesehatan. Thaha Alhamid mengharapkan agar dana otsus dimanfaatkan secara optimal dalam pengelolaan dana sehingga benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat Papua.
Dr. Gabriel Lele, Sekretaris Gugus Tugas Papua dari Universitas Gajah Mada menjelaskan bahwa manfaat dana otsus telah membawa dampak signifikan di tanah Papua. Demikian Ia menambahkan bila terdapat pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Adapun pekerjaan rumah yang sangat perlu diperhatikan adalah pembangunan sumber daya manusia Papua. Untuk itu, diperlukan intervensi terhadap dunia pendidikan yang masif, sistematis dan komprehensif pada sektor ini. Upaya yang dapat dilakukan adalah memprioritaskan tenaga pendidik yang kompeten dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengabdi ke wilayah terpencil. Sehingga intervensi terhadap pendidikan merupakan kunci dalam membangun sumber daya manusia Papua.
Berkaitan dengan pendidikan, unsur lain yang dapat menjadi pendorong dalam rangka pembangunan sumber daya manusia dalam konteks pendekatan solusi Papua adalah melalui kebudayaan. Kebudayaan bermakna hasil cipta karya manusia dan pengetahuan dalam pikiran sebagai langkah mengambil tindakan, berbuat dan berperilaku. Kebudayaan juga erat kaitannya dengan identitas. Identitas sebagai refleksi diri yang melekat. Identitas membahas dua hal yaitu ascribed identity dan non ascribed identity. Ascribed identity adalah identitas yang dihasilkan akibat keturunan atau identitas yang dapat dilihat, seperti warna kulit. Sedangkan non ascribed identity adalah identitas yang dapat diubah dan tidak terlihat, seperti keyakinan. Identitas pada dasarnya berfungsi sebagai pembeda individu dengan individu lain. Berkembangnya budaya lokal turut mempengaruhi budaya lokal sehingga perlu filterisasi budaya asing. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan bila budaya lokal perlu dijunjung tinggi dengan menghidupkan kembali budaya dan kesenian lokal. Lebih lanjut Ia menambahkan jika budaya dapat digunakan sebagai alat peredam konflik. Disebut sebagai alat peredam konflik melalui kegiatan dialog dan memanfaatkan budaya lokal.
Selanjutnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan di Papua antara lain kurangnya program pemberdayaan OAP, pengakuan kontribusi Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara dan sejarah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan-permasalahan ini tentu bersifat multidimensional, tidak hanya mencakup isu politik namun juga berkaitan dengan isu ekonomi, sosial sampai budaya. Selain itu, Papua sering mengalami gejolak akibat perbedaan cara pandang mengenai sejarah integrasi Papua ke Indonesia. Untuk itu, diperlukan cara-cara khusus dalam menghadapi kelompok-kelompok ideologis yang menimbulkan gejolak di Papua. Meskipun demikian, Papua sudah menjadi daerah yang terbuka sehingga mendorong dinamika sosial politik. Selayaknya suku bangsa lain, Papua juga bersifat heterogen akibatnya diperlukan beberapa tindakan seperti: pendekatan etnografi, antropologi, sosiologi dan nilai adat serta filosofis. Solusi permasalahan Papua dapat pula dilakukan secara parsial dan komprehensif. Pendekatan parsial dapat menggabungkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan perbaikan kinerja pemerintah daerah dalam mengelola potensi sumber daya alam Papua dengan memperhatikan beragam aspek. Pemerintah pusat dalam hal mengoptimalkan sumber daya alam Papua dalam kerangka pembangunan perlu diperhatikan pula keberadaan orang-orang adat dalam mengurangi resiko konflik. Sementara itu, pendekatan komprehensif diproyeksikan sebagai proyek jangka panjang. Proyek ini dapat dibentuk dengan disusunnya regulasi mengenai ruang berpendapat untuk orang-orang Papua dengan tujuan meminimalisir ketidakadilan khususnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam memahami konflik di Papua perlu dilakukan lokalisasi konflik bersenjata untuk memaksimalkan pendekatan keamanan dan mampu menghasilkan solusi dalam memahami persetujuan maupun penolakan dalam berjalannya otsus.
Eksistensi kelompok bersenjata di Papua juga perlu mendapat perhatian khusus. Papua merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan konflik, radikalisme hingga teror. Terakhir, teror oleh kelompok bersenjata pada 2018 terjadi di Nduga yang menewaskan 19 orang pekerja proyek jembatan. Adapun teror ini dipicu oleh konflik baik sifatnya horizontal, vertikal dan diagonal. Lebih dalam, konflik ini disebabkan oleh radikalisme yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam pemahaman komprehensif radikalisme dimulai melalui perubahan cepat atau revolusi. Irjen Pol (Purn) Drs. Y. Wahyu Saronto M. Si mengungkapkan jika ada beberapa langkah dalam menghadapi konflik di Indonesia yaitu: saling mengisi dan sinergis dalam menghadapi konflik dan teror; membangun kepercayaan sebagai fondasi kekuatan serta dilaksanakan secara stimultan. Dalam menangani kelompok teror perlu peningkatan aspek ekonomi dan kemakmuran sebagai upaya mengurangi kemunculan kelompok teror. Selain itu, diciptakannya karakteristik kerawanan daerah (Kakerda) yang membahas masalah ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya sampai hankam.serta pelu dilakukan pemulihan terhadap wilayah terdampak tindakan represif oleh aparat. Guna mencegah munculnya kelompok teror dan konflik dapat dilakukan tindakan seperti: menciptakan kesepakatan tafsir yang dipahami masyarakat; membentuk komunal damai dalam upaya menciptakan hidup rukun; menyebarkan “virus” damai.
Langkah lain yang dapat dilakukan dalam mencegah konflik adalah dengan meningkatkan kewaspadaan nasional. Kewaspadaan nasional dimaknai dengan siap siaganya bangsa Indonesia dalam deteksi, antisipasi dini dan pencegahan terhadap berbagai bentuk dan sifat yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa kini, kolonial sudah menggunakan cara baru dengan mempengaruhi, mengkooptasi dan memanfaatkan celah di berbagai aspek kehidupan. Bangsa Indonesia sudah dikenal internasional sebagai negara penganut paham politik bebas aktif dan didukung oleh paham independent in thinking dan freedom in action dalam menghadapi kekuatan bipolar US dan Tiongkok. Dalam menganut paham kebangsaan, solidaritas dalam upaya mencapai tujuan bersama merupakan hal terpenting. Ditambah ancaman bidang non militer semakin kencang pada saat ini seperti westernisasi dan materialisme. Ancaman non militer ini juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik yang dikemudian hari dapat memicu disintegrasi sosial bahkan sampai pada disintegrasi bangsa Mayjen TNI (Purn) Dr. I Putu Sastra Wingarta, S. IP, M.Sc berpendapat dalam upaya meningkatkan kewaspadaan nasional perlu dilakukan penguatan nasionalisme dan mewaspadai kemungkinan proxy war sehingga kewaspadaan nasional perlu manajemen yang baik, pemeliharaan kewaspadaan dan perlu diwaspadai.
Tahun 2021 perubahan geopolitik diyakini akan jauh kebih baik. Dr. Kusnanto Anggoro, Dosen FISIP Universitas Indonesia meyakini bahwa ada beberapa perubahan yakni: terpilihnya Joe Biden – Kamala Harris akan mengubah cara mereka melakukan diplomasi sebagaimana Trump lakukan sebelumnya; Tiongkok terus mendorong Belt and Road Initiative (BRI) di Laut Cina Selatan; reorientasi geopolitik dunia; menguatnya hubungan kerjasama antara Israel, Bahrain dan Uni Emirates Arab (UAE). Hal ini akan memengaruhi perdamaian di Palestina, nuklir Iran, pertarungan di Indo-Pasifik dengan Belt and Road Initiative. Tentunya langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia memengaruhi persetujuan internasional. Bidang yang ditekankan pemerintah adalah pembagunan infrastruktur diperlukan kemampuan diplomatik, pertahanan dan intelejen. Tahun 2045 diprediksi bangsa Indonesia muncul sebagai middle power. Tahun 2021 akan insentif membicarakan beberapa hal seperti: dampak penanganan Covid-19 dan 5G network global norm; kembalinya US ke dalam World Health Organization (WHO), UNESCO, Trans Pacific Partnership. Dalam konteks Papua, posisi Indonesia dalam politik dan hukum internasional sudah cukup kuat sehingga upaya pengadaan referendum Papua tidak akan terjadi. Berkaitan dengan internasional, diplomasi Indonesia bersifat multi sektoral yang dibawahi oleh stakeholder tertentu efektif Kementerian Luar Negeri hanya bersifat koordinasi. Perlu ditekankan bahwa secara utuh dan resmi Papua merupakan bagian dari kedaulatan Republik Indonesia sehingga celah referendum Papua sudah tidak ada. Dari tertutupnya peluang referendum Papua maka otsus berperan vital dalam berkaitan dengan partai lokal Papua. Adapun pemberlakuan otsus harus berada dalam batas-batas NKRI.
Wartawan senior, Heddy Lugito menyebutkan jika 175 juta jiwa telah memiliki akses terhadap internet atau sekitar 65% dari total populasi penduduk Indonesia. Walaupun media sosial telah marak digunakan namun media arus utama tetap memegang kendali dalam proses pembentukan opini. Berkembangnya zaman media disalahgunakan sebagai alat politik dan kepentingan kelompok. Munculnya hoax atau berita palsu di media sosial turut memengaruhi konflik di Papua. Berita-berita mengenai OAP menolak otsus merupakan berita palsu. Heddy menambahkan jika media mulai memperhatikan masa depan Papua untuk menciptakan kesejajaran dengan Pulau Jawa. Akibat maraknya berita palsu di masyarakat perlu dilakukan penegakan hukum dan memilah sumber kredibel sebagai langlah meningkatkan kualitas masyarakat.