

Dosen Ilmu Politik, Universitas UPN Vetera.
Membantah Tuduhan Pelanggaran HAM Veronica Koman
Veronica Koman adalah nama yang sering menghiasi media massa di tanah air jika terkait masalah Papua. Alumni LPDP ini, yang baru-baru ini diminta mengembalikan dana beasiswa LPDP karena menyalahi penggunaannya, bersuara lantang terkait pemerintah yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Koman saat ini tidak berani pulang ke Indonesia dan memilih menetap di Australia.
Menarik untuk kita bahas, apakah sebenarnya tuduhan Koman terkait negara yang melakukan pelanggaran HAM ke Papua berdasar atau tidak? Pertama, kita lihat dari sisi individu aktornya, yaitu Veronica Koman itu sendiri. Secara psikologis, tuduhan yang dilakukannya bisa jadi merupakan kulminasi dari aktivitasnya selama ini sebagai aktivis HAM. Sejak berkarir di LBH Jakarta, Koman aktif menyuarakan masalah-masalah terkait dengan HAM. Itu sebabnya secara psikologis nuansa pelanggaran HAM di Papua bisa saja dipolitisasi untuk kepentingannya sendiri sebagai seseorang yang memperjuangkan HAM dari awal karirnya.
Kedua, secara sosiologis politis ketika kita bicara Papua umumnya masyarakat umum mengaitkannya dengan pelanggaran HAM. Padahal, berdasarkan laporan resmi Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, tidak pernah ada peristiwa pelanggaran HAM di Papua. Menariknya, PBB tidak pernah mempermasalahkan laporan itu, di mana artinya memang tidak ada pelanggaran HAM di Papua. Jika terbukti ada, tentu sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia harus dimintai pertanggungjawaban.
Kondisi demikian membuat Koman merasa bahwa ia bisa mengambil keuntungan dari opini publik yang tidak menguntungkan negara. Persepsi yang mengatakan bahwa ada pelanggaran HAM dilakukan oleh negara di Papua dipelintir sedemikian rupa agar membesar dan membawa keutungan bagi dirinya. Alhasil, Koman mendapat pujian di dunia internasional sebagai figur yang berani menyuarakan penghormatan terhadap HAM melawan negaranya sendiri.
Opini publik internasional pun menjadi percaya bahwa memang ada pelanggaran HAM yang terjadi di Bumi Cendrawasih, terlebih Koman memiliki reputasi dan rekam jejak sebagai pengacara HAM. Keberhasilan Koman memainkan persepsi publik internasional membuatnya mendapat panggung dunia dan diizinkan menetap di Australia.
Namun, itulah salah satu masalahnya. Tuduhan Koman harusnya disampaikan di Indonesia mengingat, jika pun ada, locus dari dugaan pelanggaran HAM itu ada di wilayah hukum Indonesia. Sekali lagi, jika ada, harusnya yang melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM itu adalah aparat hukum Indonesia. Hal ini yang membuat secara sosiologis Koman mendapat pengakuan karena hoaks besar yang ia sampaikan terkesan mendapat “restu” masayarakat dan secara politis ia mampu memainkan persepsi publik internasional terkait pelanggaran HAM di Papua, namun bukan dari Indonesia, tetapi dari negara lain.
Ketiga, secara hukum, menyambung dari pendapat saya sebelumnya, Koman tidak bisa melakukan tuduhan pelanggaran HAM dari negara lain dan meinta Indonesia diadili karenanya, apalagi mendukung Papua merdeka. Dugaan pelanggaran HAM dan Papua merdeka adalah dua hal yang berbeda jauh. Secara hukum, keengganan Koman kembali ke Indonesia justru menjadi preseden hukum bahwa semua yang dikatakannya adalah bohong semata.
Ketidakbenaran argumen-argumen Koman terlihat jelas secara hukum karena ia pun tidak ada di Papua. Koman hanya memanfaatkan berita-berita daring yang mengatakan bahwa ada pelanggaran HAM di Papua. Media-media rujukannya pun media yang jelas-jelas mendiskreditkan pemerintah karena memiliki agenda pemisahan diri dari NKRI. Seharusnya Koman berani datang ke Indonesia dan melakukan langkah-langkah hukum mengusut dugaan pelanggaran HAM oleh negara tersebut, bukan berkicau dari negeri tetangga.
Fakta-fakta di atas adalah alasan mengapa saya harus memberanikan diri menanggapi tuduhan tak berdasar dari aktor-aktor seperti Koman yang hanya ingin mengejar agenda pribadi dan kelompoknya saja. Tidak ada niat tulus untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, terlebih setelah mendapatkan beasiswa dari LPD, yang adalah lembaga negara. Malah, setelah mendapat beasiswa Koman kerapkali menyudutkan pemerintah dengan bualan-bualannya yang mengada-ada.
Saya paham jika kekerasan memang sering terjadi di Papua, namun kita juga harus melihatnya dari sudut pandang lain. Tindakan yang dilakukan negara adalah respon dari kekerasan awal yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memancing aparat keamanan melakukan tindak kekerasan tersebut. Bukan aparat keamanan namanya jika tidak bertindak represif untuk menjaga keamanan di Papua, bahkan menjaga kedaulatan negara, terhadap mereka-mereka yang mengancam rakyat dan mendelegitimasi kewenangan negara. Kita harus memahami juga bahwa ada oknum-oknum seperti Kelompok Separatis Papua (KSP) yang mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian seperti ini untuk mengejar agenda kemerdekaan.
Koman sangat pintar memainkan isu yang tidak berdasar ini untuk kepentingannya sendiri. Namun, sepintar-pintarnya Koman, tidak akan mungkin bertahan selamanya. Masyarakat harus paham bahwa Koman hanya melakukan provokasi demi kepentingannya sendiri, bukan bangsa dan negara. Padahal, dari kecil kita belajar bahwa mengutamakan bangsa dan negara jauh lebih penting daripada kepentingan diri sendiri. Sebuah pernyataan yang saya pikir Veronica Koman lupa ketika menempuh pendidikan dasar di Indonesia. Tugas kita bersama untuk menyadarkannya.