

Lecturer in Political Science at UPN Veteran Jakarta
Menjawab Tuduhan Pelanggaran HAM di Papua
Tuduhan bahwa aparat keamanan (TNI-Polri) melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua adalah tuduhan yang tidak berdasar. Seperti yang sudah banyak kita ketahui, di media social, bahkan di media-media daring, pernyataan yang mengatakan bahwa aparat keamanan Indonesia banyak melakukan penyiksaan, pembunuhan, pemerasan, yang semuanya berujung pada tuduhan terjadinya pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan oleh negara melalui aparatnya.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pelanggaran HAM adalah sebuah tuduhan serius yang tidak serta merta mudah dibuktikan. Jangan sampai upaya gerakan separatis kriminal yang ingin mengancam kedaulatan bangsa dan negara membelokkan fakta ini. Fakta bahwa aparat keamanan hanya ingin menjaga keamanan dan ketertiban di Papua, justru disalahartikan menjadi sebuah tindakan yang melawan hukum, seperti melakukan pelanggaran HAM. Untuk itu, mari kita belajar sedikit tentang bagaimana sisi hukum dari sebuah kejadian yang dinamakan pelanggaran HAM.
Suatu pelanggaran HAM dapat diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM. Akan tetapi, Pengadilan HAM hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian, pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat? Menurut UU Pengadilan HAM tadi, pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7).
Di pasal selanjutnya, pasal 8, pengertian dari kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara-cara dibawah ini:
- Membunuh anggota kelompok;
- Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain
Kemudian, sesuai Pasal 9 UU yang sama, pengertian dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- Perbudakan;
- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- Penyiksaan;
- Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- Penghilangan orang secara paksa; atau
- Kejahatan apartheid (pembedaan warna kulit).
Menurut Pasal 18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Pasal 19 ayat [1] huruf b UU 26/2000). Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 ayat [1] jo. Pasal 23 ayat [1] UU 26/2000).
Apakah peristiwa yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 dapat diadili? Menurut Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) terhadap suatu peristiwa tertentu (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000).
Di dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 disebutkan bahwa: “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.” Jadi, dalam hal penuntutan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000, penentuan peristiwa tersebut harus dilanjutkan pemeriksaan hukumnya melalui pengadilan HAM Ad Hoc, bergantung kepada DPR.
Namun, ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata “dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mengutip salah satu mantan Hakim Konstitusi, A.S. Natabaya, kata “dugaan” dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan adanya putusan MK No. 18/PUU-V/2007, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Jadi, kesimpulannya peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 tetap dapat diusut, diperiksa, dan diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini diajukan oleh DPR setelah mendapat hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sejauh ketentuan di atas mengatur, tidak ada genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat Papua. Melihat dari cara-cara genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan, mustahil negara dapat melakukan hal-hal tersebut di Papua, yang adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kehadiran negara di Papua sama seperti kehadiran negara di seluruh wilayah di republik ini. Justru yang perlu kita pertanyakan adalah mengapa bisa sampai ada tuduhan-tuduhan seperti ini. Apakah ini hanya provokasi dan propaganda murahan yang diciptakan untuk mendiskreditkan tentara, polisi, dan negara tentunya.
Di Papua lebih banyak terjadi kasus penembakan gelap, penculikan, perampasan, pembunuhan terhadap aparat keamanan, dan tindakan-tindakan kriminalitas lainnya, yang dilakukan oleh oknum-oknum yang ingin Papua merdeka dari NKRI. Mereka-mereka ini tidak mengerti hukum HAM, seperti yang penulis sudah jawab di atas, tapi bicara seolah-olah negaralah yang melanggar HAM. Itulah pentingnya kita sebagai masyarakat untuk memahami sebuah kejadian atau kasus di lapangan dengan kepala dingin dan pikiran terbuka. Cermati fakta-fakta yang ada, kemudian saring baik-baik setiap informasi yang didapat. Negara tidak mungkin melanggar HAM masyarakatnya sendiri. Bahkan, tanpa masyarakat, negara tidak akan ada.