

Manajer Departemen Kemanusiaan & Perdamaian PSKP
Merajut Perdamaian di Papua
Tindak kekerasan, umumnya yang dilakukan oleh Kelompok Separatis Papua (KSP) kerap kali terjadi di Bumi Cenderawasih. Untuk itu, upaya untuk mewujudkan perdamaian di Papua terus dilakukan, termasuk dengan mengusulkan adanya perdamaian positif. Perdamaian positif berpusat pada pembelajaran untuk mencegah konflik. Untuk itu, kita harus belajar bagaimana mencegah supaya konflik-konflik tersebut tidak berulang. Mengapa mencegah, bukannya lebih baik menhilangkan konflik? Konflik tidak mungkin dihilangkan. Ia akan selalu ada di setiap peradaban manusia manapun, dan tidak akan pernah selesai. Eksistensi manusia sangat bergantung pada kemampuannya mengelola konflik. Untuk bisa mengelola, sampai meresolusi konflik, maka fokus perhatian harus diarahkan pada analisa perilaku manusia dan lingkungannya.
Selanjutnya, sebelum mempelajari apa itu perdamaian positif, sebelum itu mari kita lihat terlebih dahulu apa yang disebut dengan kekerasan. Mengapa kekerasan perlu kita pahami? Hal ini karena umumnya konflik dan kekerasan bersifat setali tiga uang, alias hampir selalu berjalan seiringan. Bahkan, kekerasan tidak selalu identik dengan fisik. Untuk itu, ada tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan secara langsung, struktural, dan kultural.
Kekerasan langsung adalah segala macam bentuk kekerasan dalam bentuk verbal yang mengakibatkan luka fisik dan penderitaan yang dalam bagi seseorang. Perang adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan bentuk dari kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang terjadi secara nonverbal, seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, dan pengasingan sosial yang menyebabkan penderitaan mendalam bagi seseorang. Banyaknya pelanggaran HAM di dalam sebuah negara, hal mana kebebasan berpendapat, aktif dalam politik, serta penindasan-penindasan lainnya, adalah sebuah bentuk dari kekerasan struktural.
Kekerasan kultural adalah segala bentuk kekerasan yang diproduksikan dari rasa kebencian, ketakutan, dan prasangka. Sumber-sumbernya dapat berasal dari agama, ideologi, seni, dan ilmu pengetahuan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang sensitif dan sangat mudah untuk digunakan sebagai alat untuk membenarkan terjadinya konflik dan terganggunya suasana perdamaian. Umumnya, kekerasan kultural memiliki hubungan langsung dengan kekerasan yang dilakukan secara langsung, maupun struktural.
Johan Galtung mengatakan, perdamaian adalah kondisi tanpa kekerasan yang bukan hanya bersifat personal atau langsung, tetapi juga bersifat struktural atau tidak langsung. Galtung juga menekankan bahwa kondisi perdamaian adalah kondisi tanpa kekerasan dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat. Ia juga menyebutkan bahwa terdapat dua definisi tentang perdamaian, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif.
Perdamaian negatif ditandai dengan ketiadaan konflik antara kedua pihak atau lebih yang berusaha mencapai kepentingan masing-masing, ketiadaan asimetri ketakutan, dan ketiadaan perbenturan kepentingan. Kemudian, damai positif ditandai dengan keberadaan suatu perangkat penyelesaian konflik yang bersifat non-koersif untuk mencegah timbulnya konflik. Hal ini termasuk tidak adanya kondisi-kondisi yang menekan atau menyengsarakan manusia, yang meliputi spektrum kondisi yang sangat luas, terjaminnya kebutuhan lahiriah (keamanan dari kekerasan dan kelaparan) dan batiniah (Galtung, 1996).
Kemudian, dalam kondisi perdamaian positif, haruslah terdapat hubungan yang baik dan adil dalam semua segi kehidupan, secara sosial, ekonomi, politik, maupun ekologi. Dengan demikian, kekerasan struktural seperti kemiskinan dan kelaparan, kekerasan sosio-kultural seperti rasisme, seksisme, dan intoleransi beragama, ataupun kekerasan ekologi, seperti perusakan alam, polusi, dan konsumsi yang berlebihan menjadi sirna.
Keadaan perdamaian positif inilah yang harus diusahakan setelah tercapainya perdamaian negatif, yaitu dengan tidak adanya kekerasan langsung atau fisik, secara makro maupun mikro, seperti peperangan, penyiksaan, serta kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan. Akan tetapi, sekalipun tidak ada kekerasan langsung eksistensi dari kekerasan struktural yang ada dapat juga mengakibatkan konflik muncul kembali (re-lapse) dan perdamaian menjadi terganggu. Itu sebabnya merajut perdamaian di Papua harus tetap dijaga oleh seluruh anak bangsa.
Ketika kita membawa Papua ke arah perdamaian positif, maka kekerasan jenis apa pun tidak akan terjadi lagi. Konflik bisa saja terjadi karena memang bagian dari siklus kehidupan manusia. Namun, kekerasan yang harus dihilangkan agar kondisi perdamaian tersebut pun bisa terwujud. Alangkah indahnya jika kondisi begitu bisa terjadi di Papua. Atas dasar itulah, kita harus merajut perdamaian di Papua agar konflik tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang.