

Mantan KABAIS TNI
Otsus Papua Harus Dilanjutkan
Otonomi khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat akan berakhir pada tahun 2021 nanti. Otsus Papua sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Peraturan ini disahkan di Jakarta pada 21 November 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berencana memperpanjang kebijakan tersebut untuk 20 tahun ke depan.
Dalam kunjungannya ke Tanah Papua beberapa waktu lalu, Tito mengatakan kalua kebijakan Otsus sangat diperlukan untuk percepatan pembangunan di Papua. Sebelumnya, Mendagri meminta Komisi II DPR RI mengutamakan pembahasan RUU Otsus karena sangat mendesak untuk diselesaikan tahun ini.
Otsus untuk Papua dan Papua Barat ini sangat perlu untuk dilanjutkan. Hal ini disebabkan karena melalui Otsus masyarakat Papua dapat melakukan pembangunan di Papua sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan adanya Otsus ini maka berhasil atau tIdaknya pembangunan di Papua itu adalah hasil kerja dari orang Papua itu sendiri tanpa menyalahkan pemerintah jakarta.
Akan tetapi, ternyata pemerintah pusat bertindak setengah hati dalam pemberlakuan kebijakan Otsus di Papua dan Papua barat. Itulah sebabnya pemerintah dapat dengan mudah disalahkan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya pembangunan di Papua.
Kemudian, dari mana kita tahu bahwa pemerintah pusat bersikap “setengah hati” terkait pemberlakuan Otsus tersebut. Kita bisa melihat pada Pasal 4 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang selengkapnya berbunyi:
BAB IV KEWENANGAN DAERAH
“Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Dari bunyi pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa terdapat pembagian kewenangan antara propinsi Papua dan Papua Barat dengan kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi, Provinsi Papua dan Papua Barat seakan-akan diberikan seluruh kewenangan dibidang pemerintahan, namun pemerintah pusat seakan-akan hanya memiliki enam kewenangan saja. Enam kewenangan tersebut, adalah kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal, agama, dan peradilan.
Yang perlu kita kritisi adalah adanya tambahan frase “kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Tambahan inilah yang merupakan bukti adanya sikap “setengah hati” pemerintah pusat terkait pemberlakukan Otsus di Papua dan Papua Barat. Penjelasannya adalah, karena dengan menggunakan frase ini maka pemerintah Jakarta bisa keluar dari 6 kewenangan yang sudah disebutkan diatas.
Sebagai pembanding, mari kita lihat UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UU PA) sebagai hasil dari perjanjian damai Helsinki tahun 2005. Ekses dari perjanjian damai tersebut, Indonesia dan mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat memberlakukan UU PA. Mirip UU Otsus, berikut adalah bunyi Pasal 7 UU PA.
BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAHAN ACEH DAN KABUPATEN/KOTA
Pasal 7
(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Berangkat dari Pasal 7 undang-undang tersebut, sangat jelas terlihat bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Propinsi Aceh. Pemerintah Jakara hanya memiliki 6 kewenangan saja, yaitu kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan tertentu dalam bidang agama. Mengacu dari hal tersebut, sudah sangat jelas bahwa terkait Aceh pemerintah hanya memiliki 6 kewenangan saja. Kewenangan-kewenangan lain selain kewenangan tersebut jatuh pada kewenangan pemerintah daerah Aceh.
Hal ini berbeda dengan UU Otsus. Kewenangan pemerintah pusat selain kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama, masih sama seperti pemberlakuan di Aceh. Akan tetapi, masih ada kewenangan tertentu lainnya yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Artinya kewenangan pemerintah pusat masih bisa keluar dari enam kewenangan tersebut diatas. Jadi, intinya pemerintah bersikap “setengah hati” dalam pemberlakuan kebijakan Otsus terhadap propinsi Papua dan Papua Barat. Itulah sebabnya ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa gagalnya Otsus di Papua dan Papua barat adalah karena campur tangan pemerintah pusat.
Itulah alasan mengapa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi di masa depan, pasca lanjutkan kebijakan Otsus. Itu juga mengapa pentingnya Otsus untuk Papua dan Papua Barat harus dilanjutkan. Dengan catatan, dalam pembuatan peraturan perundang-undangannya, frase “kewenangan lain yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan”, harus dihapuskan.