

Peneliti PSKP
Pembangunan sebagai Solusi Damai di Tanah Papua
Papua dikenal memiliki potensi ekonomi dan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, bahkan merupakan salah satu daerah terkaya di Indonesia. Sektor pertambangan menjadi salah satu yang membuat Papua kaya. Kontribusi dari sektor ini bahkan telah menjadikan Papua sebagai pembayar pajak terbesar untuk negara Republik Indonesia, serta sebagai daya bangkit utama pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua, khususnya untuk ekspor Papua. Namun, kalau dilihat dari data penduduk miskin di Provinsi Papua , menurut data Susenas 2010 , presentase penduduk miskin di Provinsi Papua masih relatif tinggi, yakni sekitar 36 persen, meskipun angka kemiskinan ini cenderung menurun dalam sepuluh tahun dari sekitar 46 persen pada tahun 2000. Demikian pula menurut laporan Sekretaris Eksekutif TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), Bambang Widianto, per-Juli 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang dari sekitar 32,53 juta orang (14,15 persen) menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen). Namun, Provinsi Papua dan Papua Barat tetap menjadi daerah paling miskin di Indonesia. Begitu pun dengan pembangunan di Papua yang jauh tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dari segi politik dan keamanan, di Papua sering terjadi isu-isu separatis. Separatisme ini membawa konflik yang cukup sering terjadi di sana, khususnya dengan aparat keamanan. Untung saja aparat keamanan masih mampu mengendalikan situasi di sana. Meskipun demikian, proses pembangunan ekonomi terus berlangsung di Papua, termasuk dengan diberlakukannya Otsus Papua sejak 21 November 2001. Pembangunan di Papua difokuskan pada empat sektor prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Oleh karena Otsus Papua terjadi perubahan yang signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan orang Papua , baik secara fisik maupun non-fisik. Utuk itu, maka Pemerintah Indonesia membentuk unit baru untuk mempercepat pembangunan di seluruh Papua. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dibentuk bedasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 dan 66 Tahun 2011, dengan tugas utama membangun dan meningkatkan fungsi koordinasi yang kuat dan bersinergi dengan semua kementerian dan lembaga (K/L) , maupun dengan lembaga internasional yang memiliki program kerja di Papua.
Perdamaian dan Pembangunan di Papua memerlukan strategi yang komprehensif (tidak parsial) untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan, termasuk tata-kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Dengan mempertahankan strategi dan kebijakan yang persial hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan ketidakpercayaan (distrust) yang semakin besar. Untuk mengurangi ketidakpercayaan tersebut perlu dibangun komunikasi antara Papua dan Jakarta dengan tujuan membuka kebuntuan politik. Pendekatan perdamaian dan pembangunan (peace and development) sangat tepat untuk menganalisis kondisi Papua. Sintesa antara perdamaian dan pembangunan di Papua diartikan sebagai tidak adanya konflik kekerasan lagi sehingga pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan secara otonom sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik Papua.
Kekerasan didalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telah mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga februari 2018. Kekerasan baik langsung maupun struktural harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan. Jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua. Chirstopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dan inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat membuat konflik berakhir. Tiga kondisi itu adalah hilangnya sikap negatif, serta perseteruan; tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa; dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan. Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
SETARA Institute dalam laporannya mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan. Periode Pertama, antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode Kedua, antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua. Periode Ketiga, yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko Widodo.
Kesimpulannya, dengan membawa Papua ke arah damai positif, maka kekerasan jenis apa pun tidak akan terjadi lagi. Konflik bisa saja terjadi karena memang bagian dari siklus kehidupan manusia. Namun, kekerasan yang harus dihilangkan agar kondisi damai positif pun bisa terwujud. Alangkah indahnya jika kondisi damai positif bisa terjadi di Papua. Atas dasar itulah, kita harus belajar mencegah konflik agar tidak berkembang menjadi kekerasan. Pembangunan dapat menjadi kunci perdamaian di Papua.