

Peneliti PSKP
PEMEKARAN WILAYAH DI PAPUA PERLU DILAKUKAN
Pemekaran wilayah Papua masih perlu dilakukan. Dinamika terkini di Papua dinilai masih mengalami perdebatan yang kuat, utamanya karena kesenjangan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika menelisik kembali perkembangan Papua Barat, kita harus melihat sejarahnya, akar budayanya, serta masyarakatnya. Sejak tahun 2004 hingga saat ini, Papua terdiri dari dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat.
Keberadaan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua memiliki posisi penting sebagai dasar perwujudan penyatuan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Otsus bertujuan untuk mencapainya kesejahteraan rakyat di Papua, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia berusaha menjembatani kepentingan antara pusat dan daerah melalui keberadaan Otsus. Pasca dilanjutkannya Otsus tahun 2021 mendatang, Otsus Jilid II akan mengatur berbagai hal tentang Papua, salah satunya adalah alokasi dana dan pemekaran wilayah yang mengalami revisi dari UU Otsus yang lama.
Pentingnya Pemekaran Wilayah di Papua
Sebelumnya, pemerintah telah menyatakan akan memperpanjang dana alokasi umum (DAU) nasional kepada Provinsi Papua dan Papua Barat yang berakhir di tahun 2021 sebesar Rp19.98 triliun, merujuk pada Pasal 34 ayat 3 dalam UU Otsus Papua. Jumlah ini naik 2.2% dari RAPBN 2020. Di samping alokasi anggaran, salah satu permasalahan yang muncul mengenai Otsus adalah wacana pemekaran wilayah. Rencananya, Papua akan menjadi 5 provinsi dengan penambahan Provinsi Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan. “Satu dari dua provinsi baru di Papua yang direncanakan sudah di tahap finalisasi” ujar Mendagri Tito Karnavian (4/10). Namun, pemerintah pusat memberikan perhatian pada Papua Selatan dan Papua Tengah serta menimbang kelayakannya menurut Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Usaha pemekaran wilayah di Papua dinilai sebagai cara pemerintah untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam hal otonomi, terutama masyarakat adat. Tanah Papua terdiri dari tujuh wilayah adat, yaitu: Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago, Mee Pago, Domberai, dan Bomberai, seperti yang diusulkan oleh berbagai tokoh adat Papua yang menemui Presiden Jokowi pada September 2019 lalu. Pemekaran wilayah nantinya sepertinya akan dilakukan sesuai dengan tanah adat. Hal itu disebabkan karena sejak dulu masyarakat Papua sudah mengenal pembatasan wilayah berdasarkan suku serta perbedaan struktur sosial dan budaya di dalamnya. Oleh karena itu, antara tanah adat satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan signifikan terstruktur seperti hubungan kerabat, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, hingga letak geografis.
Pembagian wilayah atas dasar tanah adat ini juga dinilai dapat meminimalisir potensi konflik horizontal. Pemekaran wilayah diharapkan dapat mempersempit jarak birokrasi antara pemerintah daerah dan masyarakat serta memberi kesempatan kepada penduduk asli Papua untuk menjadi pemimpin atau elit. Dalam hal ini, pemekaran wilayah di Papua juga dilihat sebagai usaha untuk melepaskan ketergantungan dari pusat demi kemandirian daerah, terutama dalam usaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terpuruk. Melihat hal ini, pemekaran wilayah diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan melalui redistribusi anggaran karena jangkauan antara pemerintah dan masyarakat lebih dekat. Pemerataan pembangunan juga ditujukan agar pemerintah dapat melakukan pelayanan maksimal kepada masyarakat serta mengeluarkan kebijakan publik yang tepat sasaran sesuai kebutuhan mereka. Hal ini juga sejalan dengan konsistensi dari perwujudan UU Otsus Papua yang telah berjalan 20 tahun.
Terkait geografi, dilihat dari segi luas wilayah, luas Papua adalah sekitar 319.000km2. luas ini menjadikan Papua sebagai wilayah terluas di Indonesia. Masalahnya, Papua hanya memiliki 2 provinsi. Di sisi lain, wilayah Jawa memiliki luas 128.297km2, namun memiliki total 6 provinsi. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya ketidakseimbangan pembagian wilayah antara yang terjadi di Jawa dan Papua. Papua yang memiliki 7 wilayah adat dinilai kurang efektif dikendalikan secara efektif oleh pemerintah dengan hanya 2 provinsi. Hal ini juga menimbulkan kurang hadirnya peran negara dalam mengatasi permasalahan di tanah Papua, baik yang terkait dengan sektor vital seperti politik, ekonomi, keamanan, atau masyarakat itu sendiri. Untuk itu, penulis sangat menyepakati usulan untuk melakukan pemekaran lebih lanjut di wilayah Papua.
Terakhir, pemekaran wilayah di Papua tentu tidak dapat diwujudkan dalam waktu singkat. Dalam prosesnya, terlibat banyak aktor berkepentingan baik dari sisi pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat adat, hingga kelompok radikal. Dinamika Otsus dan pemekaran wilayah akan terus berlanjut ketika belum bisa disepakatinya kondisi yang diinginkan oleh berbagai pihak. Namun, tidak terlepas kemungkinan juga bahwa masyarakat Papua lebih memilih status quo. Melihat hal ini, terwakilkannya suara dari tiap suku sangatlah penting. Perwakilan suara dari berbagai suku inilah yang ditampung oleh Dewan Adat Papua atau Majelis Rakyat Papua untuk kemudian didengar oleh publik.
Dinamika perkembangan di Papua kini mencapai babak baru. Papua merupakan salah satu tanah Indonesia dengan segudang potensi baik dari segi budaya, letak geografis, masyarakat, hingga sumber daya alamnya. Selama Papua menjadi bagian dari Indonesia, tentu kesejahteraan, keadilan, keamanan, serta hak-hak dasar lainnya yang dimiliki oleh warga negara harus dijamin oleh pemerintah pusat. Namun, jangan sampai proses panjang dari Otsus hingga pemekaran wilayah ini justru menjadi bumerang bagi masyarakat asli Papua itu sendiri. Kita tentunya ingin yang terbaik untuk Papua. Atas dasar itu, usulan pemekaran wilayah perlu dilanjutkan.