

Dosen Ilmu Politik, Universitas UPN Veteran
Pernyataan Sikap 57 Pastor Papua Tidak Tepat
Di tengah-tengah dilanjutkannya Otonomi Khusus (Otsus) Papua, saya ingin mengomentari pernyataan sikap terkait penolakan Otsus oleh 57 Pastor Katolik Papua. Koordinator mereka, Pastor Alberto John Bunai mengatakan bahwa 57 Pastor di Papua menolak Otsus karena tidak membawa kesejahteraan bagi Papua. Otsus dianggap gagal selama 20 tahun terakhir untuk memajukan Papua. Oleh sebab itu, mereka mengeluarkan pernyataan sikap untuk menolak Otsus.
Dalam kacamata saya, Otsus di Papua perlu dilanjutkan. Kegagalan bukan dilihat dari pernyataan sikap pemuka agama semata, sekalipun mereka tokoh-tokoh berpengaruh di Bumi Cendrawasih. Kajian yang dikeluarkan oleh Universitas Cendrawasih misalnya, mengatakan bahwa Otsus tidak gagal. Kelemahan memang ada dari sisi pengawasan dan implementasi, akan tetapi kebijakan mana yang tidak ada permasalahan sama sekali.
Saya setuju jika perlu ada evaluasi Otsus. Pemerintah pun menanggapi dengan mengeluarkan revisi terkait Undang-Undang Otsus sendiri, yaitu No. 21 tahun 2001. Dalam perpanjangan UU tersebut, masalah pendanaan dan usulan pemekaran wilayah di Papua akan dievaluasi. Ini tanda positif bahwa pemerintah pro terhadap masalah yang ada di Papua. Jika ada pekerjaan yang belum benar, tentu diperbaiki, bukan serta merta langsung ditolak.
Jangan lupakan juga, bahwa selama ini diluar Otsus pemerintah sudah sangat memperhatikan pembangunan di Papua. Salah satu contohnya adalah kebijakan pembangunan infrastruktur. Salah satu contoh yang paling dikenal masyarakat adalah pembangunan Jalan Trans Papua. Jalan tersebut menghubungkan provinsi Papua Barat dengan Papua, dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua. Menurut rencana awal pembangunan ini akan rampung pada tahun 2019 dengan total panjang 4.330 km. Sekalipun belum selesai, namun proses pembangunannya tetap dikerjakan hingga kini. Dana yang dikeluarkan pun tidak berasal dari Otsus.
Pembangunan jalan di Papua pun tidak hanya Trans Papua tetapi Jokowi juga melakukan pembangunan jalan perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Pembangunan jalan perbatasan ini membentang dari Merauke hingga Jayapura dimana salah satu ruas jalan perbatasan yang dikerjakan adalah Jalan Oksibil–Towe Hitam–Ubrup–Jayapura sepanjang 5,52 km. Pekerjaan pembangunan mulai dari KM 15.5 hingga KM 21.2 di Kabupaten Pegunungan Bintang. Jokowi juga melakukan pembangunan Jembatan Panjang Hamadi-Holtekam.
Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa pemerintah tidak melupakan Papua. Mengutip dari pendapat seorang tokoh Papua, yang saat ini sedang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Papua, Thaha Al Hamid, Papua tumbuh dari beragam suku dan tidak boleh terjadi konflik kultural. Untuk itu perlu membangun kapasitas sumber daya manusia supaya dengan Otsus di atas kapal Republik Indonesia, semua orang Papua merasa aman. Otsus mengerjakan empat hal, pengembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur. Masalah yang terjadi di tingkat pengelolaan dan pelaksanaan, bukan masalah Otsusnya. Oleh karena itu, bukan Otsus yang perlu kita tolak, namun bagaimana memperbaiki pengelolaan dan pelaksanaannya.
Thaha menambahkan, beberapa kabupaten baru hasil pemekaran selama periode Otsus kemarin belum bisa menghasilkan PAD sendiri, jadi bagaimana mereka menggerakkan pembangunan. Oleh karena itu, di saat masih memerlukan pendampingan dana spesial otonomi, kita buka diri. Pembangunan adalah hak rakyat, oleh karena itu pemerintah di mana saja berkewajiban membangun rakyatnya. Untuk itu, di Papua pemerintah memakai pendekatan otonomi khusus. Ini sebuah berkat dan anugerah untuk kita kelola dengan baik agar masyarakat di kampung-kampung bisa cepat meraih yang namanya kesejahteraan.
Jadi, intinya jika Otsus dihilangkan bisa dibayangkan dampak apa yang akan terjadi pada Papua. Bahkan menurut Thaha, jika kita menolak Otsus, MPRP dan DPRP bubar. Otomatis tidak ada representasi kultural karena Papua bukan lagi daerah spesial. Itulah mengapa saya tidak setuju dengan pendapat Pastor Bunai dan kawan-kawan. Justru, sebaiknya para pemuka agama berpikir bagaimana menenangkan umatnya dengan kalimat-kalimat sejuk yang konstruktif. Bukan dengan narasi negatif yang akhirnya malah tidak pada tempatnya. Kita bangun Papua dengan sinergi, bukan anarki.