Resolusi Damai Papua
oleh: Andrian Susilo, Peneliti Lembaga Kajian Demokrasi Indonesia (LKDI).
Membahas konflik Papua dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan keamanan bagi Papua harus menghasilkan resolusi damai bagi Papua. Hal tersebut sangat menarik bagi saya untuk diikuti karena sebelumnya-sebelumnya pembahasan-pembahasan tentang penyelesaian konflik Papua selalu berkaitan dengan militer yang super ketat di Papua yang disebabkan oleh kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mana dikatakan bisa memecah belah kesatuan NKRI. Namun, dibahas juga dari sisi kemanusiaan, yang mana sebenarnya hal tersebut juga tidak kalah penting selain dari sisi keamanan, yang membuat saya tertegun dan berfikir adalah dari apa yang disampaikan oleh Pengamat Papua yang juag orang asli Papua (OAP), yaitu Evelyn Cabuy, dimana warga Papua cukup senang dengan keamanan yang diberikan oleh pemerintah dengan menghadirkan pasukan militer dan Polri sehingga dapat meminimalisir konflik.
Namun di sisi lain, sebagai OAP Evelyn mengatakan bahwa secara psikologi dirinya merasa kurang nyaman dan merasa terkekang dengan kehadiran pasukan militer serta polri yang terlalu ketat dalam menjaga keamanan. Yang mana dari perkataan yang disampaikan beliau, saya melihat bahwa banyak orang Papua merasa dirinya terkekang atau merasa tidak leluasa untuk beraktivitas karena merasa dimatai-matai atau diawasi oleh pasukan penjaga keamanan di Papua, dan saya berpikir bisa saja hal tersebut bukan hanya beberapa saja yang merasakan namun banyak juga warga Papua yang merasakan. Hal inilah yang nampaknya juga luput dari perhatian pemerintah mengenai pendekatan secara heart to heart yang lebih deep lagi dengan masyarakat Papua, butuhnya bantuan konseling dan penanganan psikologi bagi mereka yang tinggal di wilayah yang sering berkonflik.
Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa telah terjadinya dan adanya pelanggaran HAM yang telah terjadi di Papua, namun sayangnya banyak pihak yang denial akan hal tersebut. Selain itu di sisi lain, stigma tentang kulit hitam dan orang timur yang ‘’buruk’’ di mata provinsi atau wilayah lain sehingga dengan bebas lidah dan bibir mencemooh ras, suku maupun rupa seseorang adalah suatu hal yang marak terjadi di negeri kita Indonesia. Hal ini pasti sekali dirasakan oleh orang Papua maupun orang timur ketika mereka merantau ke daerah lain terutama pulau Jawa, rendahnya Pendidikan moral di Indonesia menyebabkan anak-anak hingga bahkan orang dewasa dengan bebas menghina dan merendahkan orang lain. Hal tersebut sangat amat menyayat hati, pendidikan morallah yang menjadi fokus utama saya dalam melihat krisis moral yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut bukanlah hal sepele, hal tersebut membuat sisi kemanusiaan seperti terkikis dan membuat orang timur terutama orang Papua merasa bahwa mereka bukanlah bagian dari NKRI karena negeri mereka sendiri tidak bisa menerima keberadaan mereka.
Jika mereka tahu bahwa menjadi seorang Papua membuat mereka tidak dihargai di negeri sendiri, pasti mereka minta dilahirkan menjadi warga ras lain atau bahkan untuk tidak dilahirkan di NKRI. Pentingnya mengenalkan wilayah timur serta Papua harusnya juga bisa menjadi fokus pemerintah Indonesia seperti yang dikatakan Akademi Universitas Parahyangan Nyoman Sudira, bahwa bukan hanya saja terfokus di Ibukota, Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Angkat citra orang timur secara nasional, gugah minat masyarakat Idonesia untuk mengenal Papua dan wilayah timur lainnya, sehingga nantinya masyarakat bisa lebih tahu dan lebih menghargai keberadaan warga Papua. Mungkin opini saya hanya ini saja, karena saya lebih berfokus pada sisi kemanusiaannya, dimana sebenarny hal ini sangat krusial bagi kestabilan wilayah Papua, kebanyakan mereka ingin merdeka adalah karena mereka kecewa bahwa bertahun-bertahun mereka selalu menjadi masyarakat nomor dua di negeri sendiri. Saya Papua, Saya Indonesia.