

Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta
Sekalipun banyak oknum-oknum di luar sana yang berbicara bahwa Papua adalah bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan sampai ingin memerdekakan diri, penulis dalam tulisan ini memberikan sebuah pelurusan fakta sejarah bahwa hal tersebut adalah keliru. Sejak 1969, yaitu saat dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), Papua yang kala itu masih bernama Irian Barat, adalah bagian sah dan integral dari bangsa ini.
Secara de facto, bahkan sejak tanggal 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan Papua untuk diadministrasi oleh pemerintah Indonesia, pasca Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicanangkan Presiden Soekarno. Meskipun telah diadministrasi oleh pemerintah Indonesia, Irian Barat masih belum menjadi wilayah NKRI. Baru pada tahun 1969, pasca Pepera, Irian Barat secara resmi menjadi wilayah NKRI.
Sejak Pepera 1969
Jika kita ingin bicara Pepera, sejarahnya amatlah panjang. Peperan sendiri dilakukan pada tanggal 24 Juli sampai sekitar bulan Agustus pada tahun 1969. PBB menjadi pengawas peristiwa bersejarah yang akan menyatukan Papua ke Indonesia. Itulah mengapa Pepera bukan akal-akalan pemerintah Indonesia, namun berdasarkan rekognisi internasional, khususnya melalui PBB. Sebanyak 16 orang perwakilan PBB dikirim ke Papua untuk mengawasi jalannya Papua. Awalnya, ada 50 orang yang dikirim, namun karena berbagai pertimbangan, hanya 16 yang tersisa untuk melakukan monitoring. Tugas mengawasi pelaksanaan Pepera dimulai pada 23 Agustus 1969.
Banyaknya nada sumbang yang mengatakan bahwa PBB ditekan oleh pemerintah Indonesia juga tidak benar. Misalnya, angka 16 perwakilan juga datang dari PBB. Mereka setuju mengurangi jumlah perwakilan mereka bukan karena tekanan dari Indonesia. Kemudian, apakah mungkin sebuah organisasi besar yang memiliki Dewan Keamanan yang sangat kuat dengan adanya negara-negara hegemoni dunia, seperti Amerika Serikat dan Rusia, bisa diintervensi oleh Indonesia? Kemungkinannya tentu kecil sekali.
PBB mengutus 16 orang tadi untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten, Jayawijaya, Merauke, Paniai, Fakfak, Sorong, Biak, Manokwari serta Jayapura. Pepera juga dihadiri oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu. DMP terdiri atas 400 orang yang mewakili unsur tradisional, yaitu kepala suku/adat), 360 orang mewakili unsur daerah, dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik, maupun organisasi kemasyarakatan lainnya.
Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan tanda tangan dari semua yang hadir dalam rapat. Secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini. Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969 yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.
Diakui PBB
Sidang Umum PBB ini adalah bukti secara de jure bahwa Papua adalah bagian sah dan integral dari bangsa Indonesia, serta menjadi satu dengan NKRI. Begitu pula di mata dunia internasional, karena dengan diloloskannya resolusi tersebut, maka dunia internasional mengakui proses Pepera. Dengan begitu, penetapan resolusi PBB ini dianggap sebagai dokumen yang sah karena Pepera telah dilaksanakan. Meskipun dengan sistem perwakilan (DMP), namun hasil Pepera ini diterima dengan baik sebagai suatu putusan yang telah final.
Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua. Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku. Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional.
Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, bahkan ingin sampai Papua merdeka, artinya pihak-pihak ini tidak belajar sejarah dan hukum. Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.
Itulah mengapa penulis berani mengatakan bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia, khususnya pasca 1969 di mana dunia internasional mengakui kehadiran Indonesia di Bumi Cenderawasih. Sebuah fakta sejarah dan hukum yang penulis kira sulit untuk dibantah, apalagi hanya dengan melempar argumen atau pendapat yang tidak berdasar, sekedar untuk mempengaruhi opini publik.