

Direktur Eksekutif PSKP
Upaya Melaksanakan Perdamaian di Papua
Damai merupakan keintegrasian manusia dalam suatu kehidupan karena tidak adanya konflik, jika bicara Perdamaian tak lain adalah ketidakadaannya konflik, ketiadaan kekerasan dan terciptanya kehidupan sosial yang terstruktur. Menurut bapak perdamaian dunia, Johan Galtung, perdamaian terbagi menjadi dua, yaitu Negative Peace dan Positive Peace. Negative Peace merupakan ketiadaaan konflik antara dua pihak atau lebih yang berusaha mencapai kepentingan masing-masing, akan tetapi masih ada ketidakadilan social dan penekanan ekonomi, sedangkan Positive Peace merupakan ketiadaan suatu kondisi di mana terciptanya lingkungan yang aman dan damai tanpa adanya kekerasan ataupun peperangan baru lagi.
Perdamaian dimiliki oleh semua negara, yang meliputi semua individu maupun kelompok di dalamnya. Akan tetapi, sedamai apapun sebuah negara pasti ada yang namanya konflik, konflik ini bukan hanya perang saja, tetapi juga kehidupan sosial, pribadi, kelompok dan lain sebagainya. Khususnya di Indonesia yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Perbedaan akan berujung pada konflik, itu pasti.
Sebagai contoh, komplektisitas perbedaan di negeri ini mengakibatkan masih terjadinya kekerasan, khususnya isu rasisme. Salah satu daerah yang sering dibicarakan karena hal tersebut adalah provinsi di ujung jauh kita, yaitu Papua. Papua terus menerus diberitakan karena sering terjadi isu rasisme dan tragedi kemanusiaan yang menyangkut hak asasi manusia. Situasi ini semakin buruk karena semakin maraknya gerakan separatis papua (Kelompok Separatis Papua atau KSP), yang salah satunya bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sebuah organisasi yang berdiri sejak 1965 ini keberadaannya diakui oleh masyarakat Papua sebagai sebuah organisasi yang bertujuan memisahkan diri dari wilayah Inddonesia.
Mereka memiliki tujuan seperti ini karena merasa bahwa kondisi keamanan di Papua sangat minim, apalagi diperparah oleh tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, seperti TNI dan Polri. Kemudian, mereka juga merasa bahwa kesenjangan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Papua terjadi belum merata, serta Otonomi Khusus (Otsus) Papua dianggap belum mampu memberikan kesejahteraan bagi Orang Asli Papua (OAP). Tentunya tuduhan-tuduhan tersebut tidak berdasar karena yang terjadi justru sebaliknya, yaitu OPM dan kawan-kawannyalah yang meneror sesama rakyat Papua dengan memfitnah bahwa negaralah yang melakukannya.
Untuk mengatasi hal ini berbagai pendekatan pun dilakukan dalam menangani masalah-masalah tersebut agar terciptanya perdamaian di wilayah Papua. Papua memang memiliki banyak keragaman suku sehingga terjadinya konflik antar-suka tidak terelakkan memang. Untuk itu, perdamaian di Papua harus dibentuk karena adanya jaringan internal suku bangsa maupun suku luar. Penyelesaian konflik yang dilakukan adalah dengan melakukan dialog pertemuan dengan mekanisme pertemuan antar-suku tersebut
Selain itu, upaya-upaya dalam menciptakan perdamaian di Papua juga menemui titik terangnya, dengan terbentuknya empat poin damai, setelah sebelumnya sempat terjadi unjuk rasa anarkis di Jayapura. Kesepakatan damai ini telah ditandatangani oleh 34 perwakilan lapisan masyarakat Papua. Empat poin tersebut berisi: kami warga Negara Kesatuan Republik Indonesia di tanah Papua dengan beragam suku, bahasa, agama, dan adat istiadat menyatakan:
- Menjaga persatuan dan kesatuan di tanah Papua.
- Hidup berdampingan rukun, damai, dan kasih sayang.
- Sepakat tidak terpengaruh oleh isu-isu yang tidak benar.
- Sepakat menolak kelompok separatis dan radikal di tanah Papua
Selain empat poin diatas, untuk menjaga stabilitas keamanannya, Kapolri Jendral Tito Karnavian juga meningkatan keamanan wilayah-wilayah di Papua dengan menambah personilnya untuk mencegah dan mengamankan terjadinya konflik di sana. Hal itu juga bertujuan untuk membangun komunikasi dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik itu masyarakat, aparatur negara atau kepala-kepala suku di sana.
Upaya lainnya yang dilakukan adalah dengan melawan propaganda–propaganda hoaks yang dilakukan oleh media-media internasional oleh oknum tertentu kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah Papua (Manokwari, Fak-Fak, Jayapura, Sorong) atas aksi demontrasi besar-besaran yang kemudian berujung tidak kondusif. Hoak-hoaks ini kerap terus-menerus terjadi dan menyebar ke beberapa wilayah. Oleh sebab itu, tindakan yang dilakukan pemerintah yakni memutuskan jaringan internet di beberapa wilayah yang terjadi kericuhan untuk meredam propaganda dan ujaran kebencian, utamanya yang berisikan tentang Papua merdeka. Atas kebijakan tersebut, Presiden Jokowi memang dikecam oleh beberapa masyarakat papua, akan tetapi hal itu dilakukan demi terciptanya situasi kondusif di wilayah-wilayah yang terkena kerusuhan.
Terakhir, intervensi media-media asing yang membuat situasi semakin genting dan sengaja memancing kerusuhan agar opini publik internasional mendukung Papua keluar dari Indoneisa. Indonesia perlu memerangi hoaks dan melakukan literasi agar masyarakat tidak tertipu. Peran media pun perlu ditingkatkan dalam penyaringan berita. Semua itu memerlukan kerjasama antar-pemerintah dengan kelompok masyarakat papua, serta melakukan pendekatan sosial, ekonomi, dan pendidikan. Jangan lupakan juga tetap mendukung pembangunan infrastruktur agar kesejahteraan semakin meingkat di Papua. Semua itu diperlukan untuk melaksanakan perdamaian di Papua.